reaksi dan efek dari pemahaman wahhaby salafy


Pembahasan kali ini berkenaan dengan dampak-dampak negatif yang
disinyalir bersumber dari ajaran atau fatwa-fatwa kaum Salafi & Wahabi yang
penulis nilai sangat membahayakan bagi keselamatan aqidah dan keutuhan ukhuwah
Islamiyah. Dampak-dampak negatif tersebut telah dirasakan oleh umat Islam di
hampir setiap wilayah atau negeri di dunia Islam di mana terdapat kaum Salafi
& Wahabi di tengah-tengah mereka. Di antara hal-hal yang mendorong timbulnya
dampak-dampak negatif tersebut adalah doktrin-doktrin buruk yang biasa diberikan
kepada para pengikutnya, sebagaimana akan disebutkan berikut ini.

1. Menanamkan Kebencian & Memecah Belah
Ukhuwah Islamiyah

Tentunya lagi-lagi ini hanya karena fatwa-fatwa yang tidak
berdasar seperti di bawah ini:

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Seorang
ahli bid’ah wajib untuk diwaspadai dan wajib untuk dijauhi meskipun dia memiliki
sedikit sisi kebenaran”
(Ensiklopedia Bid’ah, hal. 125).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata,
“Al-Hajran: mashdar dari kata
Hajara
yang secara bahasa berarti taraka (meninggalkan). Dan yangdimaksud dengan meninggalkan atau menghajr ahli bid’ah adalah menjauhi
mereka, tidak mencintai, tidak berloyal kepada mereka, tidak mengucapkan salam,
tidak mengunjungi atau menengok mereka, dan perbuatan yang semisal itu.
Menghajr ahli bid’ah adalah wajib berdasarkan firman
Allah,

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang
menentang Allah dan Rasul-Nya”
(QS. Al-Mujadilah:
22)
. (Lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 123).

Fatwa seperti ini sungguh menyesatkan, karena:

a) Orang-orang yang mereka tuduh sebagai ahli bid’ah
adalah umat Islam yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.

b) Amalan-amalan yang dilakukan para tertuduh yang mereka vonis
sebagai bid’ah, adalah amalan yang tidak ada larangannya di dalam
agama, sehingga tidak bisa dihukumi sebagai bid’ah sesat. Bahkan para
ulama telah membahas hukum kebolehannya dengan gamblang berdasarkan dalil-dalil
serta kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya.

c) Ayat di atas bukan berisi perintah untuk menjauhi
ahli
bid’ah, tetapi hanya menyampaikan berita tentang orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat yang tidak akan berkasih sayang dengan orang-orang
yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.

d) Ayat di atas tidak menjelaskan bahwa maksud dari
“Orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya” adalah orang-orang
Islam yang dituduh oleh kaum Salafi & Wahabi sebagai ahli
bid’ah.

e) Ayat tersebut juga tidak menjelaskan bahwa melakukan amalan
seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tawassul kepada para wali,
tahlilan, ziarah kubur shalihin, dan lain sebagainya adalah merupakan perilaku
“memusuhi Allah dan Rasul-Nya”.

Bila dalil yang dijadikan dasar ternyata tidak berhubungan
konteksnya dengan fatwa tentang kewajiban menghajr, meninggalkan,
menjauhi, dan tidak mencintai orang-orang yang dituduh sebagai
ahli bid’ah,
mengapakah kaum Salafi & Wahabi seperti al-Utsaimin dan al-Fauzan ini
begitu berani meyakinkan orang untuk membenci saudaranya bahkan keluarganya
sendiri tanpa alasan yang jelas? Bukankah ini bisa dikatakan sebagai upaya
memecah belah persatuan umat Islam?!!

Lebih buruknya lagi, sudah diracuni dengan fatwa
tentang “kewajiban menjauhi ahli bid’ah” yang tidak jelas alasan dan sasarannya,
para pengikut Salafi & Wahabi juga diracuni dengan sikap antipati terhadap
kebaikan dan kebenaran apapun yang datang dari orang yang dituduh sebagai ahli
bid’ah itu.
Perhatikan pula fatwa al-Utsaimin berikut ini:


Termasuk dalam kategori hajr ahli bid’ah
adalah tidak membaca buku-bukunya karena khawatir terkena fitnahnya, atau tidak
mempromosikannya kepada khalayak. Karena menjauhkan diri dari tempat-tempat
kesesatan adalah wajib, berdasarkan sabda Nabi Saw. tentang Dajjal,

مَنْ سَمِعَ بِهِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ، فَوَاللهِ إِنَّ الرَّجُلَ
لَيَأْتِيْهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتَّبِعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ
مِنَ الشُّبُهَاتِ (رواه أبو داود وأحمد)


“Barangsiapa mendengar tentangnya (dajjal) maka
hendaklah dia menjauh darinya, maka demi Allah, sesungguhnya seorang akan
didatangi dajjal, dan dia mengira bahwa dajjal itu seorang mu’min, lalu orang
tersebut mengikutinya karena syubhat-syubhat yang ia tebarkan”
(HR. Abu Dawud & Ahmad). (Ensiklopedia Bid’ah, hal. 123).

Bisa dibayangkan, jika seseorang terkena pengaruh paham Salafi
& Wahabi, lalu diracuni oleh fatwa yang menyesatkan seperti di atas, di mana
orang-orang Islam yang melakukan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., tawassul,
ziarah kubur para wali, tahlilan, dan lain sebagainya dituduh sebagai
ahli
bid’ah yang harus dijauhi karena dianggap sama bahayanya dengan
Dajjal, lalu ia juga harus mencampakkan segala macam penjelasan tentang
dalil atau kebaikan dari para tertuduh ahli bid’ah tersebut baik berupa
buku-buku bacaan maupun penyampaian lisan tanpa peduli tentang kebenaran yang
ada di dalamnya, maka pastilah orang yang terpengaruh paham Salafi & Wahabi
itu akan menjadi seperti “Kerbau yang dicocok hidung” atau “Kuda delman
berkacamata”.

Betapa jahatnya doktrin Salafi & Wahabi ini; tidak
cukup dengan hanya membuat orang menjadi sombong karena menganggap diri benar
dan yang lain salah, bahkan juga menutup setiap peluang orang itu untuk
menyadari kesombongannya. Adakah yang lebih buruk dari keadaan seseorang yang
merasa benar dalam melakukan kesombongan, dan merasa beramal shaleh dalam
melakukan dosa??!

Pengikut Salafi & Wahabi dengan keadaan seperti itu akan
dengan suka rela membenci dan menjauhi saudaranya sendiri; tutup mata dan
telinga dari kebaikan dan kebenaran apapun yang datang dari saudaranya itu;
sebab yang ia tahu hanyalah, dirinya benar dan yang tidak seperti dirinya adalah
sesat. Jika para pengikut Salafi & Wahabi ini masih berjumlah sedikit, entah
sendiri atau minoritas, mereka rela menjalani hidup terkucilkan karena
mengucilkan diri dari aktivitas masyarakat, dan jika mereka sudah mencapai
jumlah banyak, mereka akan tega mengucilkan bahkan membatasi ruang gerak
orang-orang yang tidak sejalan dengan faham mereka, dan ini sudah terjadi
berdasarkan laporan-laporan yang penulis dapatkan.

Pantas saja, ekses-ekses yang muncul dari sikap-sikap seperti
ini menjadi sangat banyak, dan ini adalah berdasarkan fakta dan laporan-laporan
yang terjadi di beberapa wilayah masyarakat dan perkantoran, di antaranya:

a) Terganggunya hubungan silaturrahmi antara kerabat atau
tetangga karena tuduhan bid’ah.

b) Rusaknya kebersamaan dalam berkegiatan, baik di masyarakat,
masjid, mushalla, atau di lingkungan pengajan.

c) Terhambatnya perkembangan pemikiran umat Islam karena
disibukkan dengan perkara-perkara lama yang sesungguhnya sudah tuntas
dibicarakan dan difatwakan oleh para ulama sejak berabad-abad yang lalu.

d) Perpecahan di kalangan masyarakat karena adanya upaya
“perebutan” lahan-lahan dakwah seperti masjid, mushalla, atau sarana pengajian
seperti kelompok ta’lim di kantor-kantor atau yang lainnya.

e) Munculnya sikap-sikap usil dari orang-orang yang selalu
mempermasalahkan amalan orang lain dan menganggap dirinya paling benar.

f) Semakin terbukanya peluang bagi setiap orang untuk
berijtihad sendiri mengenai al-Qur’an & hadis, sehingga semakin
terbuka pula peluang bagi setiap orang untuk berfatwa atau bahkan memiliki
mazhab sendiri.

g) Munculnya upaya-upaya “menunggangi” umat dalam keadaan
konflik seperti ini oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan, baik
kepentingan ekonomi, jabatan, maupun politik.

h) Kelalaian umat Islam akan hal-hal yang lebih prinsip dan
lebih berbahaya seperti: Pornografi & pornoaksi, berkembangnya aliran sesat,
perjudian, maksiat & perzinahan, program-program televisi yang merusak
mental & moral, serta gaya hidup selebriti yang semakin gencar dibicarakan.

i) Munculnya kebencian terhadap para ulama yang telah
mengabdikan hidup mereka dengan ikhlas untuk menulis ilmu dalam bentuk
“kitab-kitab kuning” demi kemaslahatan umat. Karya-karya mereka hanya dianggap
sebagai pendapat-pendapat manusia yang tidak berdasar kepada al-Qur’an &
hadis.

2. Mengelabui Umat Islam dengan Pengakuan Sebagai
“Pengikut Ulama Salaf”

Sudah diketahui secara luas, bahwa kaum Salafi & Wahabi ini
mengaku sebagai “pengikut ulama salaf”. Dengan modal pengakuan itu, ditambah
lagi dengan banyak menyebut rujukan kitab-kitab atau perkataan para ulama salaf,
mereka berhasil meyakinkan banyak kalangan awam bahwa mereka benar-benar
“salafi” dan ajaran Islam yang mereka sampaikan adalah ajaran yang murni yang
tidak terkontaminasi oleh bid’ah.

Tahukah anda, bahwa itu semua hanya sebatas pengakuan yang
tidak sesuai dengan kenyataannya. Mereka tidak benar-benar mengikuti para ulama
salaf, bahkan mereka sungguh tidak sejalan dengan para ulama salaf. Mengapa
begitu, apa buktinya?

Jawabannya,
karena kaum Salafi & Wahabi ini tidak
menjadikan seluruh ajaran ulama salaf atau pendapat-pendapat mereka sebagai
pedoman dalam menjalani kehidupan beragama, tetapi yang mereka lakukan
sebenarnya adalah memilih-milih (mensortir/menyeleksi) pendapat para ulama salaf
yang sejalan dengan faham Salafi & Wahabi.
Lalu hasil seleksi
(sortiran) itu kemudian mereka kumpulkan dalam bentuk tulisan-tulisan yang
menghiasi fatwa-fatwa mereka tentang bid’ah. Kemasan seperti ini
berhasil menipu banyak orang, padahal fatwa-fatwa atau sikap beragama mereka
banyak yang bertentangan dengan para ulama salaf. Contohnya:

a. Kaum Salafi & Wahabi yang mengaku beribadah selalu
berasarkan sunnah Rasulullah Saw. sepertinya tidak suka memakai ‘imamah
(sorban yang dililit di kepala), padahal itu adalah sunnah Rasulullah Saw. yang
dikerjakan oleh para ulama salaf, seperti Imam Malik bin Anas (lihat
Ad-Dibaj al-Madzhab, Ibrahim al-Ya’muri, juz 1, hal. 19).

b. Kaum Salafi & Wahabi menganggap bahwa membaca al-Qur’an
di kuburan adalah bid’ah dan haram hukumnya, sementara Imam Syafi’I
& Imam Ahmad menyatakan boleh dan bermanfaat bagi si mayit (lihat
Fiqh
as-Sunnah, Sayyid Sabiq, juz 1, hal. 472). Bahkan Ibnul-Qayyim (rujukan
Kaum Salafi) menyatakan bahwa sejumlah ulama salaf berwasiat untuk dibacakan
al-Qur’an di kuburan mereka (lihat Ar-Ruh, Ibnul Qayyim al-Jauziyah,
hal. 33).

c. Kaum Salafi & Wahabi berpendapat bahwa bertawassul
dengan orang yang sudah meninggal seperti Rasulullah Saw. atau para wali adalah
bid’ah yang tentunya diharamkan, padahal para ulama salaf (seperti:
Sufyan bin ‘Uyainah, Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’I, Imam
Ahmad, Imam Ibnu Khuzaimah, Imam Thabrani, dan lain-lainnya) bukan duma
membolehkannya, bahkan mereka juga melakukannya dan menganjurkannya (lihat
Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Zikir
Syirik”,
Tim PCNU Jember, hal. 37-54).

d. Kaum Salafi & Wahabi tidak mau menerima pembagian
bid’ah menjadi dua (sayyi’ah/madzmumah & hasanah/mahmudah)
karena menurut mereka setiap bid’ah adalah kesesatan, padahal Imam
Syafi’I (ulama salaf) telah menyatakan pembagian itu dengan jelas, dan
pendapatnya ini disetujui oleh mayoritas ulama setelah beliau.

e. Kaum Salafi & Wahabi seperti sangat alergi dengan
hadis-hadis dha’if (lemah), apalagi yang dijadikan dasar untuk
mengamalkan suatu amalan yang mereka anggap bid’ah, padahal ulama salaf
seperti Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Mahdi menganggap hadis-hadis
dha’if
sebagai hujjah dalam hukum. sedangkan para ulama hadis telah menyetujui
penggunaan hadis-hadis dha’if untuk kepentingan fadha’il a’mal
(keutamaan amal). (Lihat al-Ba’its al-Hatsis, Ahmad Muhammad Syakir,
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, hal. 85-86).

f. Para ulama salaf tidak pernah mengharamkan peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang lainnya sebagaimana yang difatwakan kaum
Salafi & Wahabi sebagai bid’ah tanpa dalil terperinci.

g. Para ulama salaf tidak pernah memandang sinis orang yang
tidak sependapat dengan mereka, dan mereka juga tidak mudah-mudah memvonis orang
lain sebagai ahli bid’ah, apalagi hanya karena perbedaan pendapat di
dalam masalah furu’ (cabang). Imam Ahmad yang tidak membaca
do’a
qunut pada shalat shubuh tidak pernah menuding Imam Syafi’I yang melakukannya setiap shubuh sebagai pelaku bid’ah.

Masih banyak hal-hal lain yang bila ditelusuri maka
akan tampak jelas bahwa antara pemahaman kaum Salafi & Wahabi dengan para
ulama salaf tentang dalil-dalil agama sungguh jauh berbeda. Jadi, sebenarnya
kaum Salafi & Wahabi ini mengikuti ajaran siapa?

Pendapat para ulama salaf itu bagaikan barang dagangan di
sebuah Supemarket, bermacam-macam ragam, jenis, dan warnanya. Kaum Salafi &
Wahabi memasuki “Supermarket ulama salaf” itu sebagai pelanggan yang punya
selera tertentu. Anggaplah bahwa pelanggan itu penggemar warna merah, dan ia
menganggap bahwa warna merah adalah warna yang sempurna. Maka, saat memasuki
Supermarket tersebut, ia hanya akan memilih belanjaan yang serba merah warnanya.
Setelah itu ia bercerita kepada setiap orang seolah-olah Supermarket itu hanya
menjual barang-barang berwarna merah.

Pada tahap berikutnya, ia meyakinkan orang bahwa dirinya adalah
penyalur resmi dari Supermarket “merah” tersebut, sehingga orang-orang percaya
dan merasa tidak perlu datang sendiri jauh-jauh ke supermarket tersebut, dan
tentunya mereka merasa cukup dengan sang penyalur resmi “gadungan” dalam keadaan
tetap tidak tahu bahwa supermarket “merah” itu sebenarnya juga menjual
barang-barang berwarna hijau, biru, kuning, putih, hitam, orange, dan
lain-lainnya.

Ya, kaum Salafi & Wahabi ini tampil meyakinkan sebagai
“penyalur resmi” ajaran ulama salaf, dan mereka berhasil meyakinkan banyak orang
bahwa ajaran ulama salaf yang murni adalah seperti apa yang mereka sampaikan
dalam fatwa-fatwa anti bid’ah mereka. Pada akhirnya orang-orang yang
percaya tipu daya ini mencukupkan diri untuk memahami ajaran ulama salaf hanya
melalui mereka. Padahal, si “penyalur gadungan” ini sebenarnya hanya
mengumpulkan pendapat ulama salaf yang sejalan dengan tendensi pemikirannya
sendiri, lalu menyajikannya atas nama mazhab ulama salaf. Jadi, yang
mereka sampaikan sebenarnya bukan ajaran ulama salaf, melainkan hasil seleksi,
persepsi, dan kesimpulan mereka terhadap ajaran ulama salaf. Beda,
kan?!!

3. Menyempitkan Cara Pandang Hidup Beragama

Orang yang terkena pengaruh fatwa-fatwa kaum Salafi &
Wahabi biasanya jadi berpikiran sempit dalam memandang kehidupan beragama, yaitu
hanya antara Sunnah dan Bid’ah, itupun menurut definisi mereka
sendiri, padahal banyak urusan lain di dalam kehidupan beragama yang
juga butuh perhatian besar. Akibatnya, orang itu tidak bisa leluasa melihat
kemaslahatan atau kebaikan suatu tradisi atau amalan yang di dalamnya diselipkan
nilai-nilai agama atau unsur-unsur berbau agama, hanya karena “format”nya mereka
anggap tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw., padahal menurut para ulama,
tidak dikerjakannya suatu amalan tidak menunjukkan bahwa amalan itu terlarang.

Cara pandang yang sempit seperti ini kemudian melahirkan
dua keadaan pada diri orang itu, yaitu: 1.
Fokus melaksanakan ibadah dengan format yang menurutnya persis seperti
disebutkan di dalam sunnah Rasulullah Saw. 2. Waspada dari
perkara-perkara yang mereka anggap sebagai bid’ah.

Keadaan yang pertama akan membuat orang itu
merasa bangga dengan amal ibadahnya sendiri, sebab ia merasa amal ibadahnya itu
bernilai karena sesuai sunnah. Di samping itu, keadaan tersebut juga bisa
membangkitkan kesombongan saat melihat amal ibadah orang lain yang mereka anggap
tidak sesuai sunnah sehingga menjadi sia-sia dan tidak berpahala. Sementara itu,
keadaan yang kedua, yaitu kewaspadaannya terhadap perkara yang
ia anggap bi’dah dengan pengertian yang tidak jelas, akan menumbuhkan
ketakutan akan terjerumus kepada perbuatan bid’ah yang pada puncaknya
berubah menjadi sikap paranoid terhadap setiap perkara baru berbau
agama
.

Saking paranoidnya, maka setiap menjumpai perkara baru berbau
agama dalam bentuk apa saja (baik ucapan maupun perbuatan), orang itu selalu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, “Adakah dalilnya?”, “Shahih kah
dalilnya?”, “Apakah Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau melakukannya?”.

Dari kebiasaan ini, dan dari kesempitan cara pandang mereka
yang selalu membagi urusan agama cuma antara Sunnah & Bid’ah, maka
terlontarlah ungkapan-ungkapan yang penuh kesombongan seperti berikut:
“Tidak ada dalilnya!”, “Hadisnya dha’if (lemah)!”, “Tidak pernah dilakukan
Rasulullah Saw.!”

Ungkapan “Tidak ada dalilnya!” adalah
ungkapan yang tergesa-gesa dalam menghukumi suatu amalan, di mana penulis banyak
mendapati para pendakwah Salafi & Wahabi ini berani melontarkannya kepada
masyarakat dengan maksud meyakinkan dan memperdayai mereka seolah memang suatu
amalan itu tidak ada dalilnya, padahal di sana ada ratusan bahkan ribuan jilid
kitab tafsir dan kitab hadis yang jika mereka kaji satu persatu maka dalil itu
akan mereka temukan. Kesombongan mereka membuat diri mereka seolah sudah
menelusuri semua kitab-kitab itu dan seolah mereka sudah hafal seluruh dalil,
lalu berani memastikan ada atau tidak adanya dalil.

Kenyataannya, mereka memang belum menelusuri semua rujukan
dalil itu, bahkan mereka juga tidak mau membaca kitab-kitab para ulama yang
menjelaskan dalil-dalil amalan seperti Maulid, tahlilan, atau lainnya, dengan
alasan haram hukumnya membaca karya-karya ahli bid’ah.

Mengapakah mereka tidak contoh saja Imam Malik bin Anas (ulama salaf)
yang karena sifat tawadhu’ (rendah hati)nya ia lebih banyak menjawab
“aku tidak tahu” saat ditanya tentang berbagai masalah?
Apakah
mereka lebih alim dari Imam Malik sehingga mereka berani memvonis suatu amalan
dengan “Tidak ada dalilnya!” dan langsung saja menjatuhkan vonis
bid’ah tanpa mengkaji lagi pendapat para ulama yang jelas-jelas sudah
membahas dalil-dalilnya?

Ungkapan “Hadisnya dha’if (lemah)!”
yang seringkali dilontarkan dapat menimbulkan anggapan di benak masyarakat awam
seolah hadisdha’if sama sekali tidak boleh dijadikan dalil dan
harus dicampakkan. Padahal telah nyata bahwa para ulama hadis telah bersepakat
bahwa hadis dha’if itu sah dijadikan hujjah (dalil) bagi
fadha’il a’mal (keutamaan amal) yaitu agar orang terdorong melakukan
amal shaleh (lihat Al-Kifayah fi ‘ilmi Ar-Riwayah, Al-Khathib
Al-Baghdadi, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, Madinah, juz 1, hal. 133. Lihat juga
Syarh Sunan Ibni Majah, juz 1, hal. 98).

Yang justeru sangat aneh adalah sikap kaum Salafi & Wahabi
yang sok anti hadis dha’if, sementara untuk kepentingan misi dakwahnya
ternyata mereka juga menggunakan hadis dha’if yang mendukung fahamnya.
Lebih buruknya lagi, mereka banyak mendasari hukum dha’if suatu hadis
dengan hasil penelitian ulamanya sendiri yaitu Syaikh Nashiruddin al-Albani yang
tidak diakui kapabilitasnya dalam ilmu hadis oleh para ulama hadis, bahkan ia
dianggap “plin-plan” dalam menilai hadis (tentang ini, akan dibahas secara
khusus pada judul berikutnya).

Ungkapan
“Tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah
Saw.!” sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang
suatu amalan, dan hal ini sudah disebutkan di dalam pembahasan sebelumnya di
buku ini pada judul “Tipu Daya Kaum Salafi & Wahabi”.

Agama Islam sangat sempurna dan mencakup berbagai aspek
kehidupan. Sungguh kesempurnaan Islam itu tidak akan pernah terlihat bila urusan
agama ini selalu hanya dipandang dari dua kategori saja, Sunnah atau
Bid’ah. Kesempitan cara pandang seperti ini akan membuat umat Islam
tenggelam dalam permasalahan lama yang sebenarnya sudah tuntas dibahas oleh para
ulama. Akibatnya, banyak perkara yang lebih urgen dari sekedar “mencuatkan
perdebatan lama” yang terpaksa dikesampingkan. Sayangnya lagi, untuk
sekedar menarik umat kepada perdebatan lama yang sebenarnya sudah selesai ini,
kaum Salafi & Wahabi rela mengeluarkan banyak biaya. Ya, biaya besar untuk
menyebarkan keresahan & kepicikan berpikir!

Sebenarnya, ada ekses tidak langsung yang muncul akibat
kesempitan berpikir seperti ini, yaitu bahwa perhatian orang yang terkena
pengaruh ajaran Salafi & Wahabi akan lebih banyak memperhatikan hadis-hadis
yang berhubungan dengan ibadah, sunnah, dan bid’ah saja,
sehingga hadis-hadis lain yang jumlahnya sangat banyak yang tidak berhubungan
dengan hal-hal tersebut kurang mendapat perhatian. Sikap seperti ini juga
berimbas pada sikap kurang peduli kepada karya-karya para ulama yang telah
begitu luas membahas berbagai permasalahan agama, sebab mereka lebih banyak
membuka kitab-kitab segelintir ulama Salafi & Wahabi yang membahas topik
yang sesuai dengan animo mereka. Apalagi, bila sikap ini didasari oleh kebencian
kepada tertuduh bid’ah dan ahli bid’ah, maka sudah barang
tentu para ulama yang dicurigai sebagai pembawa ajaran bid’ah tidak
akan pernah diakui sebagai ulama, dan kitab-kitab karya mereka akan dengan mudah
dicampakkan sebagai “sampah yang mengotori agama”.


Bisa dibayangkan, bila umat Islam yang terkena sindrom
kesempitan berpikir ala Salafi & Wahabi ini banyak jumlahnya, maka secara
tidak langsung, akan ada banyak hadis yang dilupakan orang dan ada banyak ulama
“pewaris Nabi Saw.” yang ditinggalkan umat.
Dan ini sebenarnya sudah
terjadi. Terbukti, bahkan ulama Salafi & Wahabi hampir tidak pernah membahas
hadis tentang adanya mujaddid (pembaharu) di setiap kurun satu abad
atau hadis-hadis tentang keistimewaan pribadi Rasulullah Saw. dalam pembahasan
fatwa-fatwa mereka.

Adapun tentang ulama, banyak orang awam belakangan ini
(khususnya di Indonesia) yang hanya tahu nama-nama ulama sebatas: Ibnu Taimiyah,
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Abdul Aziz bin Baz, Nashiruddin al-Albani, dan
segelintir pengikutnya. Itu secara otomatis terjadi akibat merajalelanya isu
sunnah & bid’ah serta upaya kaum Salafi & Wahabi dalam
menterjemah buku-buku mereka dan menerbitkannya secara bombastis ke
tengah-tengah masyarakat.

4. Mengajak kepada Kemunduran
Berpikir di Kalangan Umat Islam

Tidak bisa dipungkiri, bahwa sunnah &
bid’ah
yang selalu dibahas oleh kaum Salafi & Wahabi adalah pembahasan lama
yang sudah tuntas dijelaskan oleh para ulama sejak masa salaf dan seterusnya di
dalam kitab-kitab mereka. Para ulama itu seolah sudah menghidangkannya untuk
umat dalam bentuk “makanan siap saji” yang dapat langsung diikuti atau
diamalkan. Bahkan perbedaan pendapat dalam urusan furu’ (cabang)
sekalipun sudah selesai dibahas dengan hasil sangat memuaskan diiringi rasa
solidaritas serta saling menghormati antara yang satu dengan yang lain.

Singkatnya, yang disampaikan para ulama 4 mazhab dalam
pembahasan syari’ah (ibadah, akhlak, dan mu’amalah) dan yang dibahas
oleh para ulama Ahlussunnah Wal-jama’ah dalam urusan aqidah adalah
hasil ijtihad yang sangat maksimal dalam mengkaji seluruh dalil-dalil agama. Itu
adalah hadiah yang sangat berharga bagi seluruh umat Islam, terlebih lagi umat
belakangan yang bila disuruh mengkaji sendiri dalil-dalil tersebut maka tidak
mungkin dapat mencapai hasil yang sama. Mengapa tidak mungkin, apakah pintu
ijtihad telah tertutup? Pintu ijtihad memang belum tertutup,
tetapi kemampuan dan kriteria berijtihad itulah yang sulit dipenuhi
oleh orang belakangan.


Apa yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi dalam
dakwahnya yang mengajak umat untuk langsung kembali kepada al-Qur’an &
Sunnah Rasulullah Saw., apalagi dengan pemahaman secara
harfiyah
(tekstual) terhadap ayat-ayat atau hadis-hadis tersebut, adalah bagaikan mengurai kembali benang yang sudah selesai disulam.
Artinya, semua itu
sudah dikerjakan oleh para ulama terdahulu, dan kesimpulan-kesimpulan hukum dari
proses panjang yang rumit dalam mengkaji dalil dengan menggunakan metodologi
yang maksimal sudah dihasilkan. Mengapa justeru umat yang seharusnya tidak perlu
bersusah payah melakukan hal yang sama (apalagi tanpa kemampuan yang dimiliki
para ulama tersebut) dan tinggal memanfaatkan pembahasan para ulama itu malah
diajak oleh kaum Salafi & Wahabi untuk menggali lagi dasar-dasar agama
tersebut.

Pada akhirnya, toh sebagian kesimpulan yang mereka hasilkan
bukanlah kesimpulan baru, sebab para ulama daluhu sudah mendiskusikannya.
Contohnya: Kaum Salafi & Wahabi menolak do’a qunut shubuh dengan
dalil hadis yang diriwayatkan oleh Abu Malik al-Asyja’I dan yang lainnya.
Sebenarnya para ulama salaf sudah pernah menyebutkan kesimpulan seperti itu,
sementara Imam Malik & Imam Syafi’I dan para ulama pengikutnya tetap
menganggap sunnah qunut shubuh tersebut dengan dalil-dalil yang lain.

Memang kesimpulannya sama, hanya saja bedanya, kaum Salafi
& Wahabi ketika mengungkapkan kesimpulan itu memberi kesan di benak kalangan
awam bahwa qunut shubuh adalah bid’ah yang identik dengan
kesesatan, sementara para ulama salaf sangat berhati-hati mengutarakannya.
Perhatikan komentar Imam Tirmidzi ketika meriwayatkan hadis tersebut: “Ini
adalah hadis hasan shahih, dan kebanyakan ahli ilmu mengamalkan atas dasar hadis
ini.
Dan telah berkata Sufyan ats-Tsauri, ‘Apabila berqunut di saat fajr
(shubuh) maka itu baik, dan bila tidak berqunut maka itu baik’ . Dan ia(Sufyan) sendiri memilih untuk tidak qunut. Dan Ibnul-Mubarak tidak berpendapat
adanya qunut shubuh.”

Ya, pada kesimpulan-kesimpulan hukum yang sama dengan
kesimpulan para ulama salaf, kaum Salafi & Wahabi menyajikannya dengan cara
yang tidak elegan, sehingga terkesan apa yang dilakukan oleh umat dan berbeda
dari kesimpulan tersebut adalah bid’ah yang harus ditinggalkan, dan
terkesan sesat. Padahal umat yang mengamalkan pendapat berbeda tersebut juga
memiliki dasar dari ulama salaf. Mengapa tidak mereka katakan saja,
“Menurut
sebagian ulama, qunut shubuh tidak ada, dan menurut sebagian ulama yang lain
tetap disunnahkan.”
Bukankah ungkapan seperti ini lebih baik dan lebih bijaksana?

Yang justeru harus diwaspadai adalah kesimpulan-kesimpulan kaum
Salafi & Wahabi yang jauh berbeda dari kesimpulan para ulama salaf akibat
menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan hadis secara tekstual, yaitu yang
menyangkut vonis-vonis tentang bid’ah yang terkesan mengada-ada dan
dibesar-besarkan sehingga dapat menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam.

Seharusnya, perkara-perkara perbedaan pendapat seperti sudah
tidak perlu lagi dibahas, sebab masing-masing sudah dijelaskan oleh para ulama.
Seharusnya umat Islam di masa belakangan ini sudah lebih kreatif dalam
menghasilkan kemaslahatan-kemaslahatan baru untuk umat, sehingga kehidupan umat
Islam bisa lebih baik dan disegani oleh orang-orang kafir. Seharusnya umat Islam
sudah berkonsentrasi untuk menciptakan produk-produk teknologi modern untuk
menyaingi musuh-musuh Islam termasuk peralatan perang. Seharusnya umat Islam
sudah lebih kreatif menarik kalangan awam yang masih gemar berbuat maksiat untuk
kembali kepada ketaatan. Seharusnya umat Islam sudah bisa berkonsentrasi untuk
menghidupkan semangat jihad dan menyebarkan Islam kepada orang-orang
kafir. Seharusnya biaya besar yang dikeluarkan kaum Salafi & Wahabi untuk
menyebarkan faham mereka ke seluruh dunia Islam digunakan untuk menyokong
kemajuan ekonomi, sains, teknologi, dan perjuangan umat Islam.


Ya,…seharusnya…! Sayangnya, di banyak wilayah,
hal-hal itu terhambat karena pembahasan tentang perbedaan pendapat itu
dimunculkan kembali oleh kaum Salafi & Wahabi dengan cara yang tidak
bijaksana.
Sungguh, ini sebuah hambatan yang berakibat kemunduran.
Mestinya umat Islam sudah maju beberapa langkah ke depan, tetapi malah dibuat
mundur ke belakang dalam kancah perdebatan lama dan perpecahan.

Seharusnya, Saudi Arabia yang berpaham Wahabi dan kaya raya itu
banyak menghasilkan teknolog handal dan saintis ulung, di samping memiliki
perlengkapan perang yang ditakuti musuh umat Islam. Tapi, nyatanya tidak
demikian. Sayang, kan?!!

Sungguh, bila biaya besar yang dikerahkan kaum salafi dan
wahabi dalam rangka menyokong da’wah anti bid’ah yang menenggelamkan umat dalam
kemunduran itu digunakan untuk mengembangkan strategi dakwah terhadap non muslim
dan ahli maksiat, atau untuk membangun kekuatan ekonomi, kemampuan teknologi,
dan kekuatan jihad, niscaya umat Islam akan tampil sebagai umat yang

Tinggalkan komentar

  • wong tegal anti faham Takfir

  • Page Aswaja di facebook

  • suwuk aswaja
  • Wong tegal anti wahhabi
  • Forum Aswaja Indonesia
  • Membongkar Kesesatan Wahhabi
  • Aqidah Aswaja
  • tempat ngopine wong tegal

    darwinfitriadimandai… pada Larangan mendengarkan melihat…
  • Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

    Bergabung dengan 315 pelanggan lain
  • Komentar Terbaru

    darwinfitriadimandai… pada Larangan mendengarkan melihat…
    darwinfitriadimandai… pada Larangan mendengarkan melihat…
    darwinfitriadimandai… pada Larangan mendengarkan melihat…
    darwinfitriadimandai… pada Larangan mendengarkan melihat…
    darwinfitriadimandai… pada Larangan mendengarkan melihat…
  • Top Posts & Halaman